Kamis, 01 Januari 2015

Senandung Cinta dalam Pesantren

Malam, kian terasa sunyi, hanya terdengar suara bising dari pojok-pojok kamar pesanren putri. Di sekeliling asrama putri terlihat berbagai aktifitas, di pojok kanan terlihat segerombol santri yang masih menikmati indahnya langit malam, di pojok lain ada yang konsen menghafal Alquran dan kitab-kitab lainnya.
Malam semakin sunyi, semua santri telah kembali ke dalam mimpi masing-masing. Hingga terdengar suara bel, yang menuntut mereka untuk bangun dan melaksanakan sholat subuh, kemudian mengaji kitab. Sungguh tak disangka, pada saat menggaji kitab, banyak santri yang menggantuk, tapi itulah salah satu kenikmatan yang perlu kita syukuri.
Pagi, datang menyapa enbun pagi dalam daun yang penuh kesejukan. Semua terasa indah, saat sayap-sayap burung terlihat terbang bebas di atas sana. Gerbang pesantren dibuka, semua santri putra dan putri bergegas meninggalkan pesantren dan melangkah bersama menuju sekolah. Saat mengikuti pelajaran, semua murid tampak tawadhu. Namun tak seperti hatiku (Aina najwa Sania) gadis berumur 17 tahun, salah satu santri putri pesantren al-anwar, yang diasuh oleh KH. Ahsan Syafi’i. Semua terasa hampa, saat aku mulai hari-hari di pesantren hingga saat ini aku masih terbayang-bayang akan keluargaku. Ayah, Ibu Najwa rindu kalian semua. Tapi, tak mungkin bila aku kembali ke rumah, sama saja aku menggecewakan kedua orangtuaku. Aku memang harus bangkit dan lupakan kesenagan semu, bersusah dahulu dan nanti akan kupetik serbuah makna yang terindah. Ayah, Ibu, Najwa berjanji akan pulang dengan membawa segudang ilmu yang kian nanti bemanfaat dan bisa kalian bangakan.
“Najwa,” Nisa, temen dekatku yang juga salah satu santri pesantren.
“kenapa kamu selalu melamun? Sudahlah Najwa, tidak hanya kamu yang merasakan rasa ini, semua santri baru juga begitu, begitu juga dengan aku. Tapi ini adalah hidup yang harus kita tempuh dengan ikhlas. Najwa ku yakin kamu pasti bisa, aku siap jadi orang yang selalu mendengar keluh kesahmu.”
“Makasih Nis, aku janji akan betah disini, dan bersama-sama berjuang demi cita-cita kita”.
Kata-kata Nisa benar-benar meyakinkanku dan memperkuat semanggatku. Tak terasa sudah dua minggu aku di pesantren, banyak kisah dan ilmu yang aku dapat. Ternyata menyenangkan hidup sederhana, makan apa adanya, kebersamaan tanpa pamrih, sungguh semua ini tak bisa aku rasakan jika aku di rumah.
Matahari seakan terasa di ujung kepala, saatnya pulang sekolah. Semua murid berjalan teratur, pulang ke rumah masung-masing. Sesampai di pesantren, aku langsung berganti baju dan bersiap-siap untuk melakukan kegiatan menggaji kitab. Namun ada santri yang datang ke kamar dan memanggilku.
“Najwa, kamu tadi dipanggil sama umi, amanat beliau setelah pulang sekolah, kamu disuruh menghadap beliau”
“ada apa ya?, aku takut”
“udahlah Najwa, jangan takut kamu ngak ada masalah sama umi kan, ayuk aku antar”
Aku pun berjalan menuju kamar umi bersama Dinda, salah satu santri kepercayaan umi. Langkah kaki ini terhenti, kamar umi semakin dekat dan kini telah sampai. Jantungku semakin deg-degan. “huft, bismillah”
“Assalanmualaikum, umi.,”
“Waalaikumsallam..”
Pintu kamar terbuka dan mulai Nampak sosok ibu yang sangat cantik, bijaksana, dan lemah lembut (umi Khotijah) isteri dari abah Ahsan, yang dikaruniani tiga orang putra. Diantaranya gus Alan dan gus Arfi, yang satu kurang ku kenal, karena berada di negeri Mesir.
“Ini umi, uhti Najwa yang tadi pagi umi cari”.
“Oh, iya, silahkan duduk nduk”
Akupun duduk di samping umi, dan uhti diminta meninggalkan ku.
“begini nduk, tadi pagi Ibumu telfon umi, kamu disuruh pulang, untuk menggjadiri acara pernikahan saudara kamu. Umi mengijinkan, tapi Cuma dua hari saja.”
Aku hanya bisa menggangguk, dan tersenyum bahagia. Yang kunanti-nanti kini datang juga. Aku salim sama umi sekaligus berpamitan.
Sesampai di kamar ku tata semua barang-barang yang akan ku bawa pulang. Kemudian tak lupa pamitan dengan Nisa dan teman-teman lainnya. Menuju ke dunia luar, serasa indah kembali ku naiki kereta yang mengantarku ke rumah.
Beberapa jam kemudian, akhirnya sampai juga. Suasana rumah yang sudah terpenuhi bungga-bungga pengantin, seakan-akan menyambut kedatanganku. Ku langkahkan kaki denggan cepat, dan terhenti tepat di depan rumah.
“Assalamualaikum”
Lama tak ada suara, mungkin karena terlalu ramai sampai tidak ada yang mendengar salamku. Beberapa menit kemudian, tampak bayangan serorang gadis kecil yang mendekati pintu dan menjawab salamku.
“Waalaikumsalam, kak Najwa”,
Langsung kupeluk gadis kecil itu, dia adalah safira adikku yang pertama. Ku lepas semua kerinduanku, kemudian Safira lari dan memanggil ibu. Ibu pun muncul, ku langsung mencium tangan ibu dan memeluknya, semua yang ada di situ pun meninggalkan pekerjaan mereka dan menemuiku. Rasanya seperti mimpi, tapi ini bukan mimpi ini kenyataan yang jelas-jelas terjadi (dalam batinku)
“Semakin besar saja kamu nak,”
“Betah kan kamu disitu”, Tanya ayah.
“Alhamdulillah, berkat doa dan semangat dari ayah, ibu, dan teman-teman, Najma betah kok”
“syukurlah kalau begitu, ayah sama ibi jadi nggak khawatir lagi”.
Aku pun langsung istirahat, dan membaringgkan tubuh di kamar, dan semua kembali ke pekerjaan mereka. Satu malam di rumah, serasa nggak betah, rasanya ingin cepat-cepat kembali ke pesanteren. Meski tidur sepeti korban bencana yang tidur berjejeran dan sesak-sesakkan, tapi terasa indah dan myaman. Setelah beberapa jam berguling di kasur akhirnya, tertidur juga.
Suara kokok ayam mulai terdenggar, membisingi telingaku yang membuat ku terbangun dari tidurku. Ingin rasanya tidur lagi, tapi tampaknya semua keluarga sudah terbangun dan sudah siap-siap pegi ke masjid untuk berjamaah.
Seusai jamaah, semua mempersiapkan acara pernikahan mas Aryo, kebetulan acaranya pagi-pagi, dan siangnya aku harus kembali ke pesntren. Acara yang belangsung meriah pun telah usai tepat pukul 12.00. Seusai sholat dzuhur, aku bersiap-siap berangkat ke pesantren. Ayah menggantarku sampai di stasiun, tanpa menunggu lama ayah meninggalkan ku dan meninggalkan seribu pesan yang harus aku patuhi selama di pesantren. Kereta menuju ke Pekalongan masih sekitar satu jam lagi, aku duduk di bangku kosong di bawah pohon yang rindang. Tiba-tiba ada laki-laki yang aneh yang mendekatiku, dan duduk di sebelahku. Aku semakin takut dan deg-degan.
“Mba kenapa?, apa ada yang aneh ya, apa memang aku yang aneh?”. Tanya laki-laki itu.
Aku hanya bisa terdiam, aku binggung harus bilang apa.
“Kenapa mba diam, mba merasa terganggu ya, kalau begitu aku pergi saja mba,”
“Jangan pergi, tetap disini saja, aku ngak merasa terganggu kok,”
“baiklah, angap saja kita teman lama, jadi santai saja mba, tak usah gelisah begitu”
“kenapa mas bicara seperti itu, bukankah kita tak penah bertemu, bagaimana bisa kita jadi teman lama”
“aduh, mba ini ngak ngak meresapi apa yang saya bicarakan ya, itu hanya sebuah anggapan, agar mba tidak merasa canggung bila di sebelah saya”.
Aku merasa malu, aku hanya bisa tersenyum sambil menahan rasa malu.
“Mba, mau kemana?”
“Pekalongan”.
Tanpa sadar aku menggulurkan tangganku, dan menyebut namaku. Tapi tak ada balasan darinya.
“kenapa mas tidak mau membalas perkenalanku, bukankan tadi mas bilang kalau kita berpura-pura jadi teman lama, apa salah ya jika kita mengenal lebih dekat, meskipun hanya nama. Siapa tau suatu hari nanti kita akan bertemu, dan kita bisa saling menyapa”.
“Apa arti sebuah nama dan pertemuan, pertemuan pertama akan mengisahkan sebuah rasa penasaran, pertemuan kedua akan mengisahkan sebuah rasa rindu, dan aku tak mau merindu, karena rindu itu sangat menyakitkan.”
“kenapa mas bicara seperti itu, bukankah sekarang dunia itu seakan sempit”
Belum sempat menjawab pertanyaanku, kereta yang menuju ke Pekalongan datang, saat ku menengok ke belakang laki-laki itu sudah hilang dari pandanganku, hanya tertinggal buku memory yang ia tinggal di bangku tadi. Ku ambil dan ku baca, ternyata baru terisi satu lembar yang isinya:
Aku terpesona
Pada seorang gadis, yang duduk di sampingku
Matanya yang indah, alisnya yang tebal,
Aroma wanginya yang menggetarkan hatiku
Terlebih lagi balutan kain suci
Yang telah membalut mahkotanya
Membuatnya semakin anggun
Hati siapa yang tak tergoyahkan akan kecantikan hati dan jiwanya
Sungguh aku telah terpana olehnya
sebuah ungkapan rasa yang seketika terjadi, ku baca tulisan itu sepanjang perjalananku, hingga hati ini terluluhkan, dan merindukan sosok laki-laki misterius tadi.
Kereta berhenti, dan aku langsung berjalan menuju pesantren yang tak jauh dari setasiun. Sesampai di pesantren aku langsung menuju ke kamar, kemudian langsung sowan ke umi agar umi ngak khawatir dan aku ngak di takzir. Seusai sowan di ndalem umi, aku berpapasan dengan Nisa, nampaknya dia begitu terburu-buru.
“mau kemana Nis?, kok buru-buru gitu”.
“tadi ada pengumuman, katanya putranya umi hari ini pulang dari Mesir dan seluruh santri ikut menyambut kedatangannya”
“oh, tak kira ada apa-apa, aku nggak ikut nggak papa kan, soalnya ku capek banget”.
“ya ya, kamu istirhat aja di kamar”.
“ok”.
Aku pun langsung bergegas ke kamar dan Nisa pergi menyambut kedatangan gus Hasbillah putra pertama umi, yang umurnya masih sederajat denganku. Saat aku sendiri di kamar aku teringat akan laki-laki itu, memandang tulisanya seakan ku benar-benar dekat dengannya. Apakah ini yang dinamakan cinta, ataukah rasa rindu yang menyesakkan hati dan menghipnotis fikiranku, ah entahlah. Dari pada aku bingung dengan hatiku sendiri, aku memutuskan menyusul Nisa. Ternyata, yang mereka nanti belum datang juga, dan aku kembali ke kamar.
Beberapa jam kemudian, semua santri kembali begitu juga dengan Nisa.
“Gimana Nis, dah ketemu sama gus Hisbi?”
“udah donk, tambah cakep aja beliau”.
“eh, eh, inget Nis, kamu kan dah punya andika”.
“ya, aku tau Najwa, ngak mungkin juga kan seorang gus jatuh cinta sama aku, dan cintaku juga hanya untuk mas Dika seorang,”.
“cie cie, yang lagi kasmaran”.
“la, kamu sendiri gimana Najwa”.
“belum saatnya ku certain sama kamu, he he, udahlah aku mau ke warung dulu, mau beli peralatan mandi”.
“aku temenin ya”.
“gitu juga boleh”.
Kami berjalan menuju warung, di tengah perjalanan aku bertemu sosok laki-laki di stasiun itu, aku berhenti sejenak dan melamun. Apakah ini mimpi? Tapi rasa ini ada.
“Najwa, ayo cepet, wah terpesona juga ya sama gus Hisbi”
“apa dia gus Hisbi, putranya umi?”
“ya, Najwa salah kamu sih tadi ngak ikut menyambutnya”
Rasa ini semakin hilang, ketika ku tau bahwa dia adalah seorang gus, hatiku semakin gundah dan tak tau harus berbuat apa.
Setelah belanja di warung Nisa bertemu Andika dan mereka berbincang-bincang. Akhirnya ku harus rela pulang sendiri, dan di tenggah perjalanan aku berpapasan dengan gus Hisbi.
“Assalamualaikum ya uhti, tak kusangka ternyata Allah mempertemukan kita kembali”
“Waalaikumsalam, ya alhmdulillah, seperti yang ku katakan dunia sekarang itu seakan sempit”.
“kamu kenapa, wajahmu pucat seakan-akan kamu ingin menghindar dariku, apakah pertemuan ini memngganggu mu”
“sungguh, bukan begitu, tapi aku harus kembali ke pesanteren, soalnya sebentar lagi ada ngaji kitab tafsir”.
“oh, ya maaf saya lupa, sampai ketemu nanti”
Kita pun berpisah, dengan rasa gundah bercampur rindu aku meninggalkanya. Lalu berangkat ngaji dan kagetnya lagi yang mengajar adalah gus Hisbi. Semakin tegang rasanya, badanku serasa masuk dalam almari es yang begitu dingin.
Telah lama ku pendam rasa rindu ini
Hingga kini telah terobati
Akan sang halwa yang hadir dalam hidup ini
Tuhan, entah apa maksud Mu
Kau pertemukan kami lagi
Dalam ruang rindu yang berisikan cinta
Apakah ini takdir Mu, tuk jadikan kami yang halal untuk Mu
Ataukah hanya sekedar pertemuan
Yang berakhir semu
Semua yang terjadi seperti mimpi, dua hati yang baru bertemu kini kian menjadi satu. Perasaan yang sama namun, kian sulit tuk di padu karena sesuatu. Dan hanya takdir sang izzati Robillah yang dapat menjawab kegelisahan ini. Semua yang terjadi ku ceritakan pada Nisa, dan dia memberikan solusi yang terbaik. Dan aku harus memilih mana yang baik dan yang tak baik.
Pagi menyapa ku dengan indah, hari minggu yang menyenagkan meski hati dilanda kegelasahan yang tak menentu. Aku duduk di samping taman sambil menikmati udara pagi dan sedikit ndarus alqur’an. Tanpa kusadari, ternyata gus Hisbi menghampiriku. Tak tau apa yang ia bicarakan, sebuah ungkapan hati yang begitu tulus dan ikhlas.
“Najwa, setelah lama aku pendam rasa ini, dan tanpa tak sengaja aku mengunggkapkan rasa yang tak pantas aku ucapkan kepadamu, karena sepertinya semua yang aku ucapkan mengganggu hidup kamu”
“Tak seperti itu gus, aku hanya takut dan bingung apakah pantas. Gadis seperti aku ini bersanding dengan seorang gus pemilik pesanteren yang sekarang aku tempati”
“Percayalah, Najwa aku mencintaimu ikhlas dari hati dan atas ridho Nya, dan aku tak peduli siapa aku dan kamu, bagiku semua sama tak ada yang berbeda, aku pun sudah bicara dengan umi dan abah. Mereka tak melarangku untuk berdampingan dengan siapapun, jadi maukah kau menjadi pendamping hidup ku nanti”
Aku semakin binggung, dan harus menjawab apa,
“kamu diam, berarti kamu setuju, karena diamnya seorang wanita menandakan kalau dia setuju, besok aku akan kembali ke Mesir. Aku janji, aku akan cepat menyelesaikan program s2 ku dengan cepat dan akan kembali ke sini untuk mempersuntingmu,”
“Dan aku pun kan berjanji, sebelum mas Hisbi kembali ke sini, najwa akan menghatamkan al-quran dan s1 Najwa”.
Suasana haru, yang begitu menyedihkan. Ungkapan rasa yang baru saja terucap kini harus berakhir dengan perpisahan.
Setelah gus Hisbi meninggalkan Indonesia, Najwa pun semakin giat belajar dan menghafalkan alquran. Hingga beberapa tahun kemudian Najwa diwisuda sekaligus mendapat gelah hafidhoh. Setelah selesai wisuda Najwa pulang ke rumah bersama orangtuanya. Najwa dan kedua orangtuanya terkejut dengan kedatangan pak yai dan bu nyai ke rumah. Ternyata mereka datang bersama gus Hisbi, untuk melamar Najwa. Gus Hisbi menempati janjinya begitupula dengan Najwa. Hingga akhirnya mereka menikah dan mendirikan sebuah pesantren yang mereka beri nama “Pon-Pes Putra Putri Al-Furqon”
Cerpen Karangan: Inayatun Ma’rifah
Facebook: Inayah Al Ma’rifah
Mahasiswa IAIN Walisonggo Semarang DAN Penerima Beasiswa Unggulan Monash Institute
REFERENSI :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar