Kamis, 01 Januari 2015

Satu Jam Saja

Pagi itu cuaca sangat mendung. Langit bagaikan akan memuntahkan semua isi perutnya. Yah.. benar saja hujan pun turun dengan derasnya. Suasana pagi menyelimuti hatiku, tak terasa saatnya masuk kuliah lagi. Karena liburan semesteran sudah usai. Namun, aku bahagia sekali, karena akan bertemu dengan cowok itu. Dia adalah cowok idamanku. Yah.. bisa dibilang CDH alias cinta dalam hati. Dia orangnya jaim (jaga image), tampan, pintar, calm, dan satu lagi, dia adalah seorang santri yang akan menjadi hafidz dan itu membuat aku tambah menyukainya. Dia kuliah sambil mondok. Sedangkan aku laju dari rumah ke kampus.
Sebelumnya, perkenalkan namaku Rahma Zulfikha. Panggil aku Rahma. Aku adalah seorang mahasiswi di STAIN Kudus. Aku di kenal seorang cewek yang sederhana, ramah dan lumayan pintar. Sedangkan cowok yang aku idamkan itu bernama Syarif. Nama panjangnya Syarif Hidayatullah. Aku biasa menyapanya “kang Syarif”. Panggilan “Kang” itu memang sering aku panggil untuk setiap cowok yang belajar di ponpes (pondok pesantren). Dia juga seorang mahasiswa di kampusku. Kami satu angkatan dan satu jurusan yang sama pula.
Aku bertemu dengan dia ketika kami ospek dulu. Kami satu kelompok ospek bareng. Namun, dia sikapnya sangat acuh dengan aku. Hingga sekarang sampai 2 tahun kuliah. Padahal aku sangat berharap dia mau bercakap denganku tapi selain membahas tugas mata kuliah, walau satu jam saja. Minimal dia bercerita dengan aku tentang kehidupan dia di pondok. Kami juga sering satu kelompok makalah bareng dia terus. Tapi, tetep aja jaimnya tinggi. Namun, itu yang aku suka dari dia. Dia tidak gampang merayu cewek dan bicaranya hanya seperlunya saja. Aku juga akrab dengan sahabatnya Syarif, dia bernama Idris. Namun, dia sebaliknya dengan Syarif. Yang beda dengan Syarif itu adalah Idris seorang cowok yang humoris, dan orangnya manis tapi agak pendek dikit dari Syarif. Mereka baik, sholeh dan pintar.
Aku juga punya sahabat cewek. Dia bernama Cindy. Dia adalah sahabat terbaikku. Tapi.. dia diam-diam menyukai Syarif juga. Dia selalu menceritakan gerak gerik Syarif di kampus kepadaku. Tapi.. aku gak pernah menceritakan ke dia. Kalau aku juga menyukai Syarif. Itu pasti hanya akan jadi bahan ketawaan Cindy, karena aku gak pernah pacaran dan bisa di bilang, anti dengan cowok. Sedari dulu, sejak aku SMP sampai kuliah, bareng dengan Cindy terus. Dan aku sangat paham dengan Cindy. Kalau ada cowok yang cool dikit, langsung deh jadi gebetannya. Dan tentunya langsung jadi pacarnya. Syarif juga salah satu korbannya dia. Tapi, aku hanya ketawa kecil. Kalau Cindy selalu dicuekin Syarif. Cowok se calm dia, mana mungkin tergoda sama cewek seperti Cindy yang play girl.
Suatu hari di kantin, ketika kami sedang makan siang bareng Rahma, Syarif dan Idris. Setelah selesai makan, kami akan mengerjakan tugas kuliah bareng di gazebo. Tapi.. seperti biasa hanya aku dan Idris yang asyik ngobrol jika bahas selain tugas. Aku hanya ngobrol dengan dia, hanya tugas aja. Sedangkan Cindy sok kenal sok deket sama Syarif. Lalu kami mulai belajar. Aku dan Cindy membuka laptop. terus Syarif dan Idris mengeluarkan bukunya dari tas. Aku memulai pembicaraan.
“Kang Rif.. dari kemarin aku udah nyari haditsnya di perpus tapi kok gak ketemu-temu yaa?” tanyaku bingung.
“owh… yang hadits tentang menunjuk hidung itu? Aku udah ketemu kok.. kemarin pas kamu keluar dari perpus. Aku baru masuk ke perpus. Ini kan? Yang kita cari?” jawab Syarif santai. Lalu dia menyodorkan bukunya ke arahku dan dengan suara indahnya Syarif melafalkan sanad dan matan haditsnya dengan hafal dan lancar.
“Yang artinya, Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a, Rosulullah SAW bersabda: “Aku diperintahkan bersujud diatas tujuh tulang, yaitu dahi (dan beliau menunjukkan hidungnya), kedua tangan, kedua kaki, dan ujung-ujung jari kedua kaki, dan kami tidak boleh menggabungkan pakaian dan rambut.” Syarif menambahkan artinya.
“Wah.. kamu nemu di buku apa Rif? Syarif pinter… banget. hehehe” Cindy memuji.
“Di buku karya Al-Hafidz Zaki al-Din ‘Abd al-‘Azhim al-Mundziri judul bukunya Ringkasan Shahih Muslim” Idris menambahkan.
“okelah… berarti tinggal kita cari penjelasannya” tambahku.
“aku udah ada 3 buku buat referensinya tapi belum sempet aku ringkes” keluh Syarif.
“aku aja Kang Rif.. yang ringkes. Kamu juga sibuk di pondok kan?” aku menawarkan.
“aku juga punya buku selain itu” tambah Idris.
“aku ringkes juga deh.. mana bukunya Rif..” Cindy ikut-ikutan aku.
“okeh.. jadi kita semua punya buku masing-masing. 3hari lagi kita kumpul disini lagi dan harus sudah di ringkes” tegas Syarif.
“Beress…” jawabku, Idris dan Cindy serempak.
Begitulah Syarif, dia hanya berbicara dengan aku Cuma ketika bahas tugas mata kuliah aja.
Tepatnya weekend pada hari sabtu, hpku berdering. Tak ku sangka, Idris mengajakku makan siang di kafe, yang tak jauh dari rumahku. Waktu itu perasaanku bad mood banget. Jadi, aku mau terima tawarannya dia. Setelah sholat dzuhur, aku mulai memilih baju, rok dan jilbab yang cantik untuk aku kenakan. Aku memakainya dan berdandan seadanya. Hanya bedak tipis dan lip balm. Tiba-tiba Idris pun datang dengan membawa mobilnya. Dan tak ku sangka juga ternyata Idris mengajak Syarif. Hatiku deg degan gak karuan.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam” lalu aku membuka pintu.
“are you ready girl?” semangat Idris.
“ready. Kang Idris.. kamu kan ajak kang Syarif. Boleh aku ajak Cindy?” pintaku.
“Owh.. jangan-jangan” jawab Idris gugup.
“iya.. kita bertiga aja Rahma..” Syarif membela.
“owh.. oke.. no problem” jawabku santai. Tapi, aku merasa yang aneh pada malam itu. Meskipun begitu, aku sangat senang sekali karena Syarif pertama kali memanggilku “Rahma”, biasanya hanya “hay kamu..”.
Setiba di kafe, setelah kami makan bareng. Lalu kami ngobrol cukup lama, kecuali Syarif. Dia tetep aja jaim dan cuek. Tak menghiraukan kami, tapi malah smsan. Tiba-tiba Idris mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Tak ku sangka, dia menembakku. Dia mengungkapkan perasaanya padaku di hadapan cowok yang aku sukai. Dan dia sambil memberikan gelang indah di hadapanku. Waktu itu aku sangat syok dan bingung sekali. Aku tak kuasa jika aku harus menerima Idris di hadapan dia. Aku pun terima cinta Idris. Betapa kagetnya aku, Syarif mengucapkan selamat kepadaku dan ke Idris. Lalu aku memakai gelang itu sendiri yang tadi disodrkan Idris ke aku. Karena di kampus kami memang selalu menjaga syar’i untuk tidak bersentuhan tangan yang beda muhrim. Aku selalu terapkan itu dalam kehidupanku, semenjak kuliah disini. Saat itu, Aku merasa dia benar-benar tulus mencintaiku. Tapi, dia sama sekali belum bisa aku cintai. Yang aku cintai, hanya Syarif semata.
Aku pikir, dengan aku menerima cintanya Idris. Aku bisa melupakan Syarif sedikit demi sedikit. Tapi.. kenyataannya nihil. Justru dengan aku jadian sama Idris, aku malah sering bertemu dengan Syarif. Karena, mereka bersahabat. Aku sangat tersiksa dengan ini, karena di hadapan dia, aku bercandaan mesra dengan Idris. Meskipun mesra, tapi kami tak pernah berpegang-pegangan tangan layaknya orang pacaran pada umumnya. Kami selalu menjaga syari’at Islam.
Suatu hari selesai kuliah, aku makan siang dengan Idris di kafe, depan kampus kami. Dari jarak 5meter, aku melihat sosok seseorang yang aku kenal. Saat itu, Idris sedang ke toilet. Orang itu kemudian lari keluar kafe. Dan aku mengejar orang itu. Orang itu pun berhenti, orang itu tinggi menggunakan jacket hitam dengan celana levis dan sepatu sport ditambah lagi topi hitam. Aku menyuruhnya membalik ke arahku. Orang itu pun menghadap kepadaku. Tak ku sangka, orang itu ternyata Syarif. Di dalam hatiku bertanya, untuk apa dia mengikuti kami berdua. Dia pun berhenti. Lalu tak pikir waktu panjang, aku pun melontarkan pertanyaan kepadanya. Saat itu, yang aku liat Syarif tak seperti biasanya. Wajahnya sangat pucat. Sedikit demi sedikit dia mendekatkan dirinya padaku. Hatiku kembali berdebar dibuatnya, sekitar jarak 1meter dari wajahku, aku melihat darah titik demi titik keluar dari hidungnya, aku terkejut dan ingin menangis.
“Kamu.. kenapa kang Rif? Apa kamu sakit?” pada waktu itu yang ku tanyakan pertama adalah keadaan Syarif.
“aku tidak apa-apa” jawab Syarif.
“tapi.. kamu… Apa aku antar kamu ke dokter?” aku menawarkan bantuan.
“owh.. tidak.. terima kasih Rahma” jawabnya.
Tiba-tiba dia berlari lagi. Aku ingin mengejarnya lagi. Namun, aku ingat Idris. Dan aku kembali ke dalam kafe.
Setiap kali kami berempat kumpul bareng. Syarif tak pernah menceritakan kejadian di kafe itu. Aku pun demikian. Mungkin karena Syarif tak ingin menyakiti hati Idris. Pagi sekali, ketika itu hanya aku dan Syarif yang sudah tiba di kampus. Aku mendekati dia dan tak malu-malu aku bertanya. Karena kejadian itu sangat menghantuiku tiap hari.
“Assalamu’alaikum kang..” aku mulai dengan memberikan salam.
“Wa’alaikumsalam” jawabnya.
“Maaf kang.. kenapa kemarin pas di kafe kamu seperti mengikuti aku sama Idris?” tanyaku Heran.
“Owh.. itu. Iya.. memang aku sengaja mengikutimu” jawab Syarif santai.
“tapi.. kenapa? Apa ada yang salah dengan aku kang?” aku semakin penasaran.
“tidak apa-apa. Aku Cuma ingin melihatmu waktu itu” Syarif menjawabku dengan lembut.
Aku diam sesaat. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku bingung mau bilang apa padanya. Aku ingin sekali mengucapkan bahwa aku sangat mencintainya. Tapi, apa daya aku tak mampu. Janji setiaku sudah terikat orang lain. Tiba-tiba Idris datang dan bertanya keadaannya Syarif.
“Rif.. kau keliatan pucat sekali. Apa sudah minum obat? Lebih baik tadi kamu istirahat aja di pondok. Apa aku antar pulang sekarang aja?” Idris khawatir.
“tidak.. terima kasih Dris.. aku agak baikan kok.” jawab Syarif.
“dia kenapa Mas Idris?” tanyaku kepada Idris. Begitulah, setelah kami resmi pacaran. Kami memanggilnya Mas dan Dek.
“Dia sakit parah Dek Rahma.. kasihan dia. Padahal seharusnya dia pulang ke kampung aja. Biar dirawat oleh keluarganya.” Jawab Idris.
“sakit apa?!” aku kaget.
“kamu kenapa Dek Rahma.. aneh deh.. tanya sendiri aja. Maaf Dek.. karena aku udah janji gak akan bilang sama orang-orang tentang penyakitnya dia” jawab Idris.
“owh..” jawabku heran. Tak biasanya Idris menyembunyikan sesuatu dariku. Dan Aku semakin penasaran.
Esoknya aku mendengar kabar buruk dari Idris. Bahwa Syarif telah masuk rumah sakit. Idris baru memberitahuku bahwa Syarif mengidap kanker otak. Seketika itu aku menangis dan langsung aku meminta Idris untuk mengantarnya ke rumah sakit. Idris pun mulai curiga dengan aku. Setiba di rumah sakit. Di depan ruangan Syarif, udah ada orangtuanya dan teman-teman pondoknya dia. Aku pun masuk ke ruangan. Aku melihat sosok orang yang aku cintai lemah tak berdaya dan pucat sekali. Aku datang sendirian ke ruang rawat Syarif, karena hanya satu orang yang diperbolehkan masuk ke ruangan Syarif. Aku membawa bunga lili berharap dia bisa kembali tersenyum. Aku tak henti-hentinya menangis. Aku membuka pembicaraan ku padanya yang masih koma.
“Assalamu’alaikum kang Syarif.. kamu kenapa begini kang? Apa kamu tahu? Aku sangat sedih kang?. Cepet bangun kang Rif.. aku ingin mengungkapkan perasaanmu padamu. Bahwa aku sangat menyukaimu sedari dulu. aku sayang kamu. aku tak mampu menutup-nutupinya lagi. Tolong bangun kang Rif..” aku terus menangis. Aku kaget dan bahagia karena tiba-tiba Syarif sadar dari komanya. Ternyata dia mendengar kata-kataku terakhir tadi.
“Lalu kenapa kamu menerima cinta Idris?” tanyanya.
“Idris begitu baik, tulus dan enjoy padaku. Sedangkan kamu kang Rif? Cuek dan seperti tidak menyimpan rasa padaku, aku mencoba melupakanmu dengan menggantimu sama Idris, tapi sepertinya aku tidak bisa” kembali tangisku berderai.
“Maafkan aku Rahma.. karena sikapku ini. Kamu jadi seperti ini. Jujur.. aku juga menyukaimu sedari dulu. Aku mencintaimu karena Allah. Aku mencintaimu karena tingkah lakumu dan agamamu yang baik. Kamu adalah wanita yang sederhana dan sholeha. Dan Aku tak bisa mengungkapkan perasaanku ini padamu, karena penyakitku ini. Aku tau umurku tidak akan panjang, aku takut jika aku menyatakan cintaku padamu nanti aku akan menyakitimu dengan cara meninggalkanmu. aku tak ingin melukaimu lebih dalam lagi. Rahma.. Boleh aku meminta sesuatu?” Syarif meneteskan air mata.
“apa itu kang?” jawabku.
“aku ingin bersamamu satu jam saja Rahma.. aku ingin memandangmu sebelum aku pergi” pinta Syarif.
“iyah.. kang Rif..” aku meng-iyakan permintaannya.
Tapi, kali ini aku begitu sangat ketakutan sekali. Bagaikan disambar petir. 1 jam kemudian. Dia memintaku untuk mengundang orangtuanya dan Idris juga. Dokter pun membolehkannya. Karena mungkin dokter sudah tahu, bahwa itu adalah permintaan terakhirnya Syarif. Merekapun masuk ke dalam ruangan. Tak ku sangka ternyata Idris mendengar pembicaraan kami. Lalu Syarif memulai pembicaraan.
“Dris.. aku minta sesuatu kepadamu. Tolong jaga Rahma baik-baik. Aku tak ingin kamu melukainya. Dan ingat ya? Ber pacaranlah islami. Jaga kehormatan kalian sebagai orang muslim. Aku berharap, kelak kamu adalah pendamping hidup Rahma. Aku tau kamu adalah orang yang sangat baik dan sholeh. Jadi, aku nitip Rahma ya” pinta Syarif dengan senyuman.
“iya Rif.. aku akan menjaga Rahma mu. Aku sangat mencintainya. Pasti aku akan tepati pintamu” Idris menangis.
“Umi.. Abi.. Maafkan anakmu ini. aku tak bisa meneruskan perjuangan Abi sebagai pendakwah. Abi adalah inspirasiku. Dan Umi adalah wanitaku yang paling terbaik dan terindah di dunia ini. Aku sangat mencintai dan menyayangi kalian. Dan aku bangga dan bahagia menjadi anak Umi Abi..” puji Syarif kepada Orangtuanya.
“iya nak.. kami juga bangga punya anak seperti kamu” jawab Orangtuanya lalu mereka menangis.
“Makasih Rahma.. udah pernah hadir di kehidupanku. Belajarlah mencintai Syarif karena Allah. Kelak kamu akan bahagia di dunia dan di akhirat nanti” Syarif memohonku.
“Insya Allah kang Syarif..” aku tak henti-hentinya meneteskan air mata.
Lalu Syarif mengucapkan kalimat syahadat. Dan seketika itu dia meninggal dunia. Saat itu aku pingsan. Mungkin karena aku tak kuasa melihat kenyataan itu. Tak pernah terfikirkan olehku. Syarif akan meninggalkanku seperti ini. Satu jam saja, kamu telah bisa mencintai aku di hatimu.
Aku menangis dengan derasnya. Sesampai di kuburan Syarif, aku hanya bisa menatap batu nisannya dengan mata sembab ku. Inilah saat-saat terakhirku bersama dia. Dengan menyesal aku mengatakan ucapan terakhir “Uhibbuka Fillah Kang Syarif, aku mencintaimu kang.. karena Allah..”. Selamat jalan cinta dalam hatiku.
TAMAT
Cerpen Karangan: Widi Astuti
Facebook: widi astuti gosuksesgo
aku adalah seorang mahasiswi di pekalongan. aku sangat suka menulis cerpen sejak Smp. Banyak teman-temanku yang ingin kisah cinta ataupun persahatannya di kisahkan oleh ku.

REFERENSI :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar